Langsung ke konten utama

Langit Biru




Pagi itu cuaca nya cerah, matahari tersenyum lembut pada setiap orang yang akan memulai beraktivitas. 

Tak terkecuali seorang remaja laki laki yang sedang berjalan menyusuri koridor sekolah nya dengan santai, hendak menuju kantin untuk menitipkan nasi bungkus dagangannya.

Memang seperti ini di setiap harinya, ia selalu berangkat sekolah dengan menenteng sebuah tas yang penuh dengan nasi bungkus dagangannya. Hal ini terpaksa harus dilakukannya untuk menyambung hidupnya dan adiknya.

Namanya Langit, seorang remaja laki laki yang saat ini duduk di bangku kelas XI SMA itu harus menelan rasa gengsinya demi menghidupi Biru, sang adik yang baru beranjak 7 tahun.

Sejak dua tahun lalu Langit berjualan keliling. Ayahnya yang hanya seorang supir angkot meninggal saat sedang bekerja. Sedangkan Ibunya yang merupakan seorang TKW belum pernah pulang sejak dua tahun terakhir, bahkan ia tidak lagi mengirimkan uang pada Langit dan saat akan diberi kabar jika Ayah nya mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat pun ia tidak bisa dihubungi

Awalnya Langit merasa terpuruk, ia merasa dunia begitu tidak adil kepadanya. Disaat teman teman seumuran nya bisa dengan bebas bergaul dan bermain bersama teman-temannya, tapi Langit harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tapi semua perasaan itu hilang seketika saat ia melihat tawa lebar dari Biru, adiknya.

Langit sangat menyayangi Biru, ia ingin terus melihat senyuman Biru, ia ingin terus membuat Biru bahagia, ia ingin terus meyakinkan Biru jika semua akan baik baik saja disaat Biru merasa iri pada temannya yang diantar-jemput oleh kedua orangtuanya. Sementara Biru hanya memiliki Langit sekarang.

"Kak, kapan Ibu pulang?"
Itu yang selalu Biru tanyakan pada Langit, tapi Langit selalu menjawab dengan jawaban yang sama, "Ibu pasti pulang, Biru tenang aja ya, kan ada Kakak" sambil mengusap rambut Biru lembut.

Seperti siang ini, Biru menghampiri Langit dengan wajah yang ditekuk.

Langit berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi sang adik.
"Adik kakak yang cantik ini kenapa hm? Kok mukanya ditekuk gitu? Jelek lho"

Biru mendengus kasar, dan tiba tiba ia menangis begitu saja.

"Kakak!" Biru memeluk leher Langit kuat dan menangis disana.

Langit dengan sigap balik memeluk Biru agar tubuh anak itu tidak jatuh ke belakang.

"Cup cup cup, kenapa hm? Siapa yang bikin adik kakak nangis?" Biru menggeleng dalam pelukan Langit.

"Kamu kenapa? Coba sini cerita sama Kakak" Langit melepaskan pelukannya dan mengusap air mata Biru yang masih mengalir.

Setelah beberapa saat, Biru tetap menggeleng. Langit menyerah, ia berbalik, membelakangi Biru. Biru yang melihat itu hanya terdiam, tidak mengerti.

Langit menoleh, "Ayo cepetan naik, pesawatnya mau berangkat~" ucapnya kemudian.

Biru tertawa dan langsung naik ke punggung Langit.

"Ngeeng~" Langit berputar putar sambil menggendong Biru, bertingkah seolah-olah dia memang pesawat dan Biru yang menjadi pilotnya. Biru hanya tertawa riang di atas punggung nya. Dalam hati, Langit bersyukur karena Adiknya tidak lagi menangis.

"Silahkan turun, tuan putri. Kita sudah sampai" Langit berjongkok lagi untuk menurunkan Biru yang masih saja tertawa karena tingkah Langit yang selalu bisa membuatnya kembali lebih baik.

"Kak!" Panggil Biru

"Iya? Kenapa?" Langit menghampiri Biru yang sedang duduk di kasur.

"Tadi di sekolah, ada temen Biru yang ulang tahun. Dirayakan di sekolah, kuenya enak kak" Biru mulai bercerita.

"Hmm, terus?" Tanggap Langit yang hanya mangut mangut.

"Terus tadi ibunya juga dateng ke sekolah, Ibunya nyium dia di pipi sambil bilang 'Ibu sayang banget sama kamu, jadi anak baik ya' gitu kak" Celoteh Biru sambil menirukan gaya Ibu temannya tadi.

"Oh gitu" tanggap Langit, lagi-lagi hanya manggut-manggut.

"Kak, Biru pengen deh, ulang tahun Biru nanti, ada kuenya! Sama eskrim juga! Terus, Biru berdoa, semoga di hari ulang tahun nanti, Biru bisa ketemu sama Ibu" Ucap Biru tulus. Langit tertegun mendengar celotehan adiknya itu. Ia jadi merasa miris sendiri.

Jika Langit boleh memilih, lebih baik dia yang ada di posisi Biru. Melihat seorang teman yang di sayang oleh ibunya sedangkan ia tidak pernah merasakan itu adalah sebuah luka tersendiri bagi Biru, Langit tau itu.

Tapi Langit dengan cepat tersenyum.

"Biru mau eskrim sama kue ulang tahun? Nanti Kakak beliin ya," ucap Langit. Biru yang mendengar ucapan kakaknya langsung tersenyum lebar.

"Beneran kak?! Makasih~" Biru melompat dari tempat tidurnya dan langsung memeluk Langit sambil menciumi pipi kakaknya itu.

"Tapi ada syaratnya"

"Syaratnya apa?" 

"Biru harus janji sama Kakak! Biru harus rajin belajar, biar ntar kalo udah gede bisa sukses!" Langit mengacungkan jari kelingkingnya dihadapan Biru.

"Janji!" Biru mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Langit.

Langit merasa hatinya menghangat melihat Biru yang sedang tertawa lebar seperti itu. Langit ikut tertawa melihat tingkah Biru, meski saat ini ia tengah bingung bagaimana cara membelikan Biru eskrim dan kue ulang tahun.

Sedangkan hari ulang tahun Biru tinggal satu Minggu lagi. Sebenarnya Langit bisa saja melamar pekerjaan di sebuah restoran, tapi ia tidak ingin meninggalkan Biru terlalu lama. 

Langit tidak ingin Biru merasa kesepian.

Tapi sedetik kemudian Langit mengingat sesuatu. Ia pernah melihat sebuah restoran yang memiliki perpustakaan sekaligus. Jadi ia bisa saja membawa Biru kesana, adiknya itu pasti akan senang dan anteng jika disekitar nya ada buku.

Ya, itu solusinya.

Keesokan harinya, seperti yang telah Langit rencanakan sebelumnya, ia akan pergi melamar pekerjaan setelah menjemput Biru dari sekolah nya.

"Kita kesini ngapain kak?" Tanya Biru yang kelihatannya sedang bingung.

"Kakak mau ajak Biru main, disini ada banyak buku. Biru suka kan?" Langit memberi alasan.

"Wah, serius kak?" Tanya Biru tidak percaya. "Biru suka baca buku dongeng!" Lanjutnya kemudian.

Langit hanya mengangguk dan mengusap kepala Biru lembut.

Takdir sedang baik pada Langit. Setelah melakukan wawancara kecil, akhirnya Ia diterima untuk menjadi asisten koki di restoran tersebut. Langit benar benar bersyukur hari ini.

Semenjak Langit diterima untuk bekerja di sebuah restoran, setiap pulang sekolah, Langit dan Biru langsung menuju ke sana.

Semuanya berjalan lancar sebagai mana mestinya. Hingga pada suatu hari, tepat sehari sebelum hari ulang tahun Biru, sesuatu terjadi.

Siang itu, saat Langit baru saja sampai di sekolah Biru, ia melihat sang adiknya yang sepertinya sedang bingung mencari keberadaannya. Maklum saja, Langit sedikit telat menjemput Biru.

Langit berniat menyebrang menghampiri adiknya,

"Kakak!!" tapi Biru terlanjur melihatnya dan tanpa pikir panjang dia langsung berteriak sambil berlari ke arah Langit. Padahal jelas-jelas ada sebuah mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kiri Biru.

"DEK AWAS!!" Langit berlari untuk menyelamatkan Biru, tapi naas. Ia terlambat sepersekian detik. Tiba-tiba saja tubuh Biru sudah terpental jauh dari tempatnya semula.

Langit membelalakkan matanya dan langsung berlari menghampiri Biru yang tak sadarkan diri.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Langit langsung membopong tubuh adiknya untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

"Dek, Biru, bangun dek! Maafin Kakak" Langit terus mengucapkan kalimat itu di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.

"Dek, maafin Kakak!" Langit terus menerus mengucapkan hal yang sama, berharap adiknya akan bangun.

Tapi nyatanya nihil, Langit terduduk di lantai koridor rumah sakit. Pertahanan nya runtuh, ia terisak disana sambil terus menyalahkan dirinya sendiri.

Seandainya Ia tidak telat menjemput Biru, seandainya ia langsung berlari saat itu, seandainya ini tidak terjadi, semuanya pasti baik baik saja.

Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan jas putih yang melekat di tubuhnya menghampiri Langit.

Refleks, Langit langsung berdiri dan menghadap pria itu.

"Gimana keadaan adik saya dok?" Tanya Langit hati hati. Di dalam hatinya ia berdoa, semoga semuanya akan baik-baik saja

"Adik kamu" Pria yang disebut Dokter itu menghela nafas panjang. "Benturannya keras, sampai saat ini adik kamu belum sadar, ada pendarahan di kepalanya. Jadi angka harapan hidupnya sangat kecil" penjelasan Dokter itu membuat Langit semakin terpuruk dan menyalahkan dirinya sendiri.
Langit kembali terduduk di lantai koridor Rumah Sakit.

Langit melihat tubuh Biru yang terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Langit mengulum bibirnya untuk menahan isakan.

Dengan sisa tenaga yang ada, Langit mencoba mengusap rambut Biru lembut.

"Dek, ini Kakak bawain kue ulang tahun sama eskrim buat kamu. Ayo bangun" Langit mencoba tersenyum meskipun hatinya terasa perih dan teriris melihat kondisi adiknya saat ini.

Kenapa harus Biru? Kenapa bukan dirinya saja? Kenapa harus adiknya? Yang bahkan belum mengerti apa apa.

Langit menggenggam tangan Biru kuat, dalam hati berjanji untuk tidak akan pernah melepaskan genggamannya.

Ia menatap monitor di sampingnya yang memperlihatkan denyut jantung Biru yang melemah.

Runtuh sudah pertahanan Langit, ia terisak dalam diam sambil menggenggam tangan adiknya erat. Seolah tak membiarkan nya pergi.

Di tengah ke kalutannya, tiba-tiba Langit merasakan tangan Biru bergerak.

Langit membelalakkan matanya mencoba fokus.

Benar saja, beberapa saat kemudian, Biru membuka matanya, menatap Langit sambil tersenyum.

"Ka-kakak, k-kenapa nangis? Kakak ma-rah sama Biru ya? Ga-gara gara Biru ngerepotin Kakak?" Biru bertanya dengan susah payah.

Langit menggeleng cepat, "Enggak sayang, Kakak gk nangis. Biru gak pernah ngerepotin Kakak. Biru anak yang baik kok, Kakak sayaaang banget sama Biru" Langit mencoba tersenyum meski akhirnya terlihat miris.

"Oh iya, Kakak bawain Biru kue sama eskrim yang Biru mau. Ini" Langit mengambil kue dan eskrim itu dan memperlihatkan nya pada Biru.

Biru tersenyum melihat itu, "Makasih ya kak, biru juga sayang sama Kakak. Kakak jangan sedih lagi ya" Ucap Biru tulus.

Langit mengangguk "Iya. Iya, sama sama sayang" kemudian mencium kening Biru. Biru memejamkan matanya merasakan ketulusan kakaknya. Bersamaan dengan Langit yang menjauhkan diri dari Biru, layar monitor pun turut menampilkan garis lurus yang membuat Langit panik seketika.

"Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi takdir berkata lain. Sabar ya" Ucap Dokter itu mencoba menguatkan Langit.

Langit kembali menangis sambil menatap langit yang terlihat cerah dan biru. Sekelebat bayangan Biru yang sedang tertawa terpampang disana yang lama kelamaan hilang tersapu angin. Meninggalkan Langit sendiri.


–FIN–






Author note :

Gimana? Ala-ala sinema pintu taubat ikan terbang gitu ya? Wkwk

Komentar